Dalam
film tersebut, Mel Gibson yang berperan sebagai Jerry Fletcher, mantan
“kelinci percobaan dari program mind-control” yang menjalani profesi
sebagai supir taksi, tengah diburu CIA dan FBI. Dalam pelariannya, Jerry
masuk ke toko buku dan membeli sebuah buku berjudul The Catcher in the
Rye karya J.D. Salinger. Oleh kasir, barcode tersebut dipindai oleh
mesin scanning (pemindai), suatu hal yang sangat lazim. Nah, saat
barcode tersebut dipindailah, di suatu tempat, agen-agen intelijen AS
yang memburu Jerry berhasil menemukan lokasi Jerry saat itu. Ada apa
dengan barcode?
Barcode memiliki beberapa variasi. Namun yang paling umum digunakan untuk mengidentifikasi produk di seluruh dunia adalah yang terdiri dari 13 angka. Hebatnya lagi, selain 13 angka tersebut, secara tersembunyi ada angka 666 yang diwakili oleh garis paling kanan, tengah, dan kiri, yang terdiri dari dua garis tipis dan lebih panjang dibanding garis lainnya.
Mary
Stewart Relfe, Ph.D, seorang pilot dan juga penelaah Alkitab asal
Amerika dengan serius menelusuri latar belakang, motif, dan tujuan
dipergunakannya sebuah barcode dalam identifikasi produk. Hasil
penelitiannya sungguh mengejutkan dan dituangkan dalam sebuah buku
berjudul “666 & The New Money System” (1982).
Stewart menegaskan jika sedari dulu hingga kini, ada satu rezim yang anti Tuhan yang bergerak secara amat rapi dan rahasia yang di hari akhir nanti berambisi untuk bisa menjadi tuan atas umat manusia dalam suatu tatanan dunia baru (The New World Order). Mereka bergerak dalam banyak bidang, terutama perdagangan dan keuangan, dan mereka inilah yang dengan sekuat tenaga memanipulasi nilai emas dan menukarnya dengan penggunaan uang kertas (Money Paper) yang sesungguhnya sama sekali tak bernilai.
Stewart menegaskan jika sedari dulu hingga kini, ada satu rezim yang anti Tuhan yang bergerak secara amat rapi dan rahasia yang di hari akhir nanti berambisi untuk bisa menjadi tuan atas umat manusia dalam suatu tatanan dunia baru (The New World Order). Mereka bergerak dalam banyak bidang, terutama perdagangan dan keuangan, dan mereka inilah yang dengan sekuat tenaga memanipulasi nilai emas dan menukarnya dengan penggunaan uang kertas (Money Paper) yang sesungguhnya sama sekali tak bernilai.
Stewart
yang merupakan seorang janda dari mendiang Dr. CB. Relfe, seorang
dokter dari Montgomery AS ini, bahkan menemukan kesesuaian ramalan ini
dengan satu ayat dalam Injil (Wahyu 13: 16-18) yang berbunyi:
“Dan
ia menyebabkan, sehingga kepada semua orang, kecil atau besar, kaya
atau miskin, merdeka atau hamba, diberi tanda pada tangan kanannya atau
pada dahinya, dan tidak seorang pun yang dapat membeli atau menjual
selain daripada mereka yang memakai tanda itu, yaitu nama binatang itu
atau bilangan namanya. Yang penting di sini ialah hikmat: Barangsiapa
yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena
bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya adalah
enam ratus enam puluh enam, 666”.
Dari Uang Kertas Menuju Chip
Secara
garis besar, kelompok atau dalam bahasa Stewart disebutnya sebagai
‘rezim’ ini mengawali dengan memanipulasi emas dan perak, dan akan
mengakhirinya dengan penggunaan micro-chip yang ditanamkan di bawah
kulit manusia. Micro chip ini selain berisi data pribadi seseorang yang
lengkap, juga memuat data rekening bank yang bisa dipergunakan sebagai
‘alat pembayaran yang sah” tanpa perlu lagi memakai kartu kredit.
Jadi,
micro chip yang terdiri dari kode garis yang tadinya tersimpan secara
rahasia di bawah lapisan kartu kredit atau kartu debet, maka di masa
depan kode-kode itu akan ditanamkan di bawah kulit manusia. Ada yang
menyatakan di tanam di sekitar kening, antara mata, ada pula yang
menyatakan telapak tangan bagian atas.
Stewart
menulis, “Awalnya, penggunaan barcode hanya memiliki tujuan sebagai
suatu sistem pengidentifikasian. Dan kedua, penulisan angka-angka
identifikasi dalam bentuk sandi tersebut adalah untuk mempermudah
transaksi ‘pembelian dan penjualan’. Namun yang sangat menggelisahkan,
cara penyebarannya ternyata sangat jauh melampaui fungsi dasarnya dalam
perdagangan. Saya dapat melihat bahwa penerapan teknologi barcode yang
diterapkan pertama kali pada produk barang, disusul kemudian pada
kartu-kartu, akan berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dalam
masyarakat yang tidak lagi menggunakan uang kontan. Cara-cara ini, lewat
penggabungan antara sistem identifikasi dengan sistem pembelian dan
penjualan dalam satu nadi elektronik, akan menyebabkan satu rezim mampu
mengendalikan kehidupan setiap umat manusia secara total.
Amerika Sebagai Perintis
Standarisasi uang kertas seluruh dunia awalnya mengacu pada Dollar AS.
Sampai sekarang pun Dollar AS masih menjadi patokan bagi nilai tukar
mata uang banyak negara, juga dalam perdagangan internasional, semisal
barang tambang dan lain-lain.
Awal
dari pemberlakuan uang plastik yang terdiri dari kartu kredit, kartu
debet, dan sebagainya pun berawal dari negara ini. Dan bukan suatu hal
yang kebetulan belaka jika pemberlakuan barcode dan micro-chip pun
berasal dari sini. Hal ini selaras dengan lambang negara AS yang banyak
sekali mengandung falsafah dari cita-cita rezim rahasia tersebut,
seperti seloka Novus Orde Seclorum (Tatanan Dunia Baru), simbol 13 dan 666, serta piramida Illuminati yang terdiri dari 13 tingkatan.
“Awalnya,
sistem itu diperkenalkan pada dasawarsa 1970-an di Amerika Serikat,
pada barang-barang buatan pabrik; pada dasawarsa 1980-an, hal tersebut
telah dijalankan di seluruh dunia. Sesuatu yang aneh dan janggal pada
mulanya sekarang telah menjadi satu hal yang lazim,” ujar Stewart.
Jika nenek atau orangtua kita berbelanja barang di tahun 1960 atau awal 1970-an, maka biasanya kasir akan mencatat barang-barang apa saja yang dibeli secara manual, atau harga yang ada di setiap barang sudah ada di dalam kepala sang kasir tanpa harus dicatat lagi, maka sekarang, sudah menjadi kelaziman jika kita membeli sesuatu di toko-toko, maka si kasir akan melihat barcode dan melakukan pemindaian dengan sinar laser.
Jika nenek atau orangtua kita berbelanja barang di tahun 1960 atau awal 1970-an, maka biasanya kasir akan mencatat barang-barang apa saja yang dibeli secara manual, atau harga yang ada di setiap barang sudah ada di dalam kepala sang kasir tanpa harus dicatat lagi, maka sekarang, sudah menjadi kelaziman jika kita membeli sesuatu di toko-toko, maka si kasir akan melihat barcode dan melakukan pemindaian dengan sinar laser.
Penggunaan
barcode dikatakan mampu mengendalikan kehidupan setiap umat manusia
secara total adalah benar. Karena dengan terkumpulnya segala inf ormasi
pembelian dan penjualan di suatu negara di server pusat barcode di AS,
maka AS mampu membaca dengan baik bahwa negara A sangat tergantung
dengan komoditas X, atau negara B sangat tergantung dengan komoditas G.
Dengan adanya informasi ini maka AS bisa dengan sangat mudah
mengendalikan suatu negara lewat “supply and demand” suatu produk. Jadi,
pengendalian suatu negara dapat dilakukan AS secara mudah, tanpa perlu
repot mengirimkan tentara dan sebagainya.
Menuju Masyarakat Tanpa Uang Tunai
Mary
Stewart Relfe di dalam bukunya bercerita tentang suatu pertemuan
akademis di sebuah perguruan tingi di Amerika. “Saya hadir dalam satu
grup diskusi mahasiswa di AS. Salah seorang mahasiswa jurusan akuntansi
bercerita pada saya: “Pada 1976, seorang pejabat The Federal Reserve
Board menggelar satu seminar di Universitas Auburn. Seluruh mahasiswa
dari jurusan bisnis, akuntansi, dan teknologi komputer diundang hadir.
Judul pertemuan itu adalah ‘The Cashless Society’ (Masyarakat tanpa uang
tunai). Pembicara dari The Fed itu merasa sangat yakin jika perdagangan
di masa mendatang akan dilakukan tanpa menggunakan uang tunai.”
“Teknologinya
sudah hadir di sini,” ujarnya. “Namun sarjana-sarjana sosiologi masih
belum selesai mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima suatu kondisi
di mana uang tunai tidak perlu mereka bawa lagi dalam saku celana
mereka.”
Pengganti
uang tunai yang dimaksud di sini adalah uang plastik yang awalnya
berbentuk kartu kredit (dan dikemudian hari kartu debet dan sejenisnya).
Di dunia ini, ada dua jenis kartu kredit yang sangat terkenal yakni
Visa Card dan Master Card. Sebenarnya ada satu lagi yang juga cukup
terkenal namun lebih banyak menjangkau kelas atas, yaitu American
Express.
Setiap
orang yang memegang kartu kredit, maka seluruh data pribadinya telah
ada di dalam pusat database perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit
tersebut. Perusahaan tersebut akan bisa dengan mudah mencermati gaya
hidup seseorang yang sering mempergunakan kartu kreditnya untuk
berbelanja.
Jika
orang itu seseorang yang mempunyai kedudukan yang penting, politikus,
usahawan, jenderal, atau bahkan pemimpin suatu negara, maka dengan mudah
orang tersebut akan bisa dipengaruhi atau masuk ke dalam perangkap
pihak-pihak yang berkepentingan dengan berbekal segala informasi dari
transaksi kartu kreditnya. Informasi yang sesungguhnya sangat privacy
ini menjadi hal yang sangat telanjang di hadapan para produsen kartu
kredit yang semuanya berpusat di Amerika Serikat. Seperti halnya
cuplikan film “Conspiracy Theory” di atas, berbekal transaksi dengan
barcode (atau kartu kredit) secara real-time, maka CIA bisa menentukan
lokasi orang yang dicari.
Dan
satu hal lagi yang menjadi pertanyaan adalah persamaan sumber data
seseorang dalam kartu kredit dengan sistem kekeluargaan Yahudi yang
menganut sistem darah ibu. Jika Anda memegang kartu kredit dan hendak
mengetahui segala informasi tentang kartu kredit Anda dengan cara
menelpon Call Center, maka pertama-tama pasti Anda akan ditanyakan sang
operator nama asli ibu kandung Anda, bukan Ayah Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar